Jakarta, CNN Indonesia -- Di lokasi syuting, aktor, sutradara dan segenap kru bahu membahu menggarap film. Namun di luar itu, sorotan publik cenderung hanya tertuju pada aktor dan sutradara saja, dan melupakan kru.
Sekalipun telah bekerja keras, apresiasi untuk kru terbilang langka. Jangankan menjadi sorotan publik, nama mereka pun jarang tercantum di akreditasi atau credit title.
"Biasanya, kru film itu enggak pernah minta untuk namanya dicantumkan di dalam credit title, jarang banget,” kata sineas Tino Saroenggalo kepada CNN Indonesia.com, baru-baru ini.
“Kecuali kalau aktor dan sutradara, sudah pasti mereka minta dicantumkan,” kata pria yang pernah menjabat sebagai production manager film garapan Ryan Murphy, Eat Pray Love.
Sebaliknya, menurut Aufa Rachmat Triangga Ariaputra dari rumah produksi Blok A Picture, pencantuman nama segenap kru dalam credit title sangat penting sebagai bentuk apresiasi.
Pria yang pernah menjadi sound recordist di produksi film Hollywood, Eat Pray Love, ini beranggapan, sebuah film tidak akan rampung jika tidak dikerjakan bersama kru.
"Kalau nama kita enggak ada, ya harus ngomong dengan cara baik-baik, jangan diem aja. Harus bersikap [tegas] untuk memperbaiki hal yang benar-benar salah," kata Aufa.
Selain namanya langka di daftar credit title, kaki para kru yang bekerja di balik layar ini—dari runner, lightingman, hingga figuran—pun jarang menapak bioskop saat premiere.
Tapi, menurut Tino, ada juga sineas yang berbaik hati mengajak seluruh pendukung filmya, termasuk kru, untuk menghadiri premiere (pemutaran perdana) di bioskop. Dialah Garin Nugroho!
"Di Indonesia, sutradara yang melakukan kebiasaan itu adalah Garin Nugroho. Dia memiliki kebiasaan itu,” ujar Tino dengan nada bangga. “Itu adalah kebiasaan yang baik.”
Menurut Tino, ada rumah produksi yang mengadakan pemutaran perdana khusus untuk tim kru film, tapi ada juga yang tidak. Sekalipun sudah diundang, kru belum tentu datang, karena sibuk.
“Mereka itu sibuk. Enggak cuma satu film yang mereka kerjakan.” Tino menegaskan, pekerjaan kru di balik layar sangat padat dan mengharuskan mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Bekerja Tanpa Pernah Mengeluh
Walau jarang disorot, diapresiasi, dicantumkan namanya di credit title, dan diundang ke pemutaran perdana film, toh kru film tetap semangat dan tak pernah mengeluh.
Padahal lagi, kru jarang kebagian bonus bila filmnya laku di pasaran. Lazimnya hanya artis, sutradara dan pelaku pekerjaan lain yang terlihat penting yang mendapatkan bonus.
"Mereka enggak akan ngeluh, mereka sudah tahu bahwa semuanya sudah diatur di dalam kontrak mereka," ucapnya. Kebanyakan kru film sudah paham benar risiko pekerjaan mereka.
"Pekerja [kru] bukan orang yang cengeng. Mereka berjuang dengan segala keminimalisan, kekurangan dan kelebihannya. Mereka tidak teriak agar pekerjaannya dilihat," kata Aufa.
"Yang membuat saya bangga, mereka enggak pernah ngeluh tentang kerjaannya saat di lapangan. Mereka selalu berjuang dengan cara dan pemikiran masing-masing," lanjut pendiri Komunitas Soundroll.
Aufa tidak mempermasalahkan bila orang-orang menganggap remeh kaum marginal di ranah film. Tapi menurutnya, lebih baik orang-orang mengetahui bahwa produksi film melibatkan banyak profesi.
Pria lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini juga menganggap perlu ada survei dan edukasi secara langsung ke lapangan agar orang-orang paham dan tidak menganggap remeh suatu pekerjaan.
Pergerakan itu harus dilakukan secara masif, bukan sekadar ke sekolah-sekolah saja, melainkan juga ke masyarakat luas. Apresiasi layak diberikan kepada kaum marginal di film.
Sementara soal bonus, Aufa berpendapat, "Butuh ruang khusus untuk membicarakan hal itu. Mau seperti apa nanti pembagiannya. Tapi bergantung juga sama perusahaan dan pekerjaan yang kita pilih.”
Lebih jauh Aufa menambahkan, segala persoalan kaum marginal di film ini ada konsekuensinya. “Kalau hanya berkutat siapa yang salah dan benar ya enggak akan selesai,” katanya.
Sekalipun telah bekerja keras, apresiasi untuk kru terbilang langka. Jangankan menjadi sorotan publik, nama mereka pun jarang tercantum di akreditasi atau credit title.
"Biasanya, kru film itu enggak pernah minta untuk namanya dicantumkan di dalam credit title, jarang banget,” kata sineas Tino Saroenggalo kepada CNN Indonesia.com, baru-baru ini.
“Kecuali kalau aktor dan sutradara, sudah pasti mereka minta dicantumkan,” kata pria yang pernah menjabat sebagai production manager film garapan Ryan Murphy, Eat Pray Love.
Sebaliknya, menurut Aufa Rachmat Triangga Ariaputra dari rumah produksi Blok A Picture, pencantuman nama segenap kru dalam credit title sangat penting sebagai bentuk apresiasi.
Pria yang pernah menjadi sound recordist di produksi film Hollywood, Eat Pray Love, ini beranggapan, sebuah film tidak akan rampung jika tidak dikerjakan bersama kru.
"Kalau nama kita enggak ada, ya harus ngomong dengan cara baik-baik, jangan diem aja. Harus bersikap [tegas] untuk memperbaiki hal yang benar-benar salah," kata Aufa.
Selain namanya langka di daftar credit title, kaki para kru yang bekerja di balik layar ini—dari runner, lightingman, hingga figuran—pun jarang menapak bioskop saat premiere.
Tapi, menurut Tino, ada juga sineas yang berbaik hati mengajak seluruh pendukung filmya, termasuk kru, untuk menghadiri premiere (pemutaran perdana) di bioskop. Dialah Garin Nugroho!
"Di Indonesia, sutradara yang melakukan kebiasaan itu adalah Garin Nugroho. Dia memiliki kebiasaan itu,” ujar Tino dengan nada bangga. “Itu adalah kebiasaan yang baik.”
Menurut Tino, ada rumah produksi yang mengadakan pemutaran perdana khusus untuk tim kru film, tapi ada juga yang tidak. Sekalipun sudah diundang, kru belum tentu datang, karena sibuk.
“Mereka itu sibuk. Enggak cuma satu film yang mereka kerjakan.” Tino menegaskan, pekerjaan kru di balik layar sangat padat dan mengharuskan mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Bekerja Tanpa Pernah Mengeluh
Walau jarang disorot, diapresiasi, dicantumkan namanya di credit title, dan diundang ke pemutaran perdana film, toh kru film tetap semangat dan tak pernah mengeluh.
Padahal lagi, kru jarang kebagian bonus bila filmnya laku di pasaran. Lazimnya hanya artis, sutradara dan pelaku pekerjaan lain yang terlihat penting yang mendapatkan bonus.
"Mereka enggak akan ngeluh, mereka sudah tahu bahwa semuanya sudah diatur di dalam kontrak mereka," ucapnya. Kebanyakan kru film sudah paham benar risiko pekerjaan mereka.
"Pekerja [kru] bukan orang yang cengeng. Mereka berjuang dengan segala keminimalisan, kekurangan dan kelebihannya. Mereka tidak teriak agar pekerjaannya dilihat," kata Aufa.
"Yang membuat saya bangga, mereka enggak pernah ngeluh tentang kerjaannya saat di lapangan. Mereka selalu berjuang dengan cara dan pemikiran masing-masing," lanjut pendiri Komunitas Soundroll.
Aufa tidak mempermasalahkan bila orang-orang menganggap remeh kaum marginal di ranah film. Tapi menurutnya, lebih baik orang-orang mengetahui bahwa produksi film melibatkan banyak profesi.
Pria lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini juga menganggap perlu ada survei dan edukasi secara langsung ke lapangan agar orang-orang paham dan tidak menganggap remeh suatu pekerjaan.
Pergerakan itu harus dilakukan secara masif, bukan sekadar ke sekolah-sekolah saja, melainkan juga ke masyarakat luas. Apresiasi layak diberikan kepada kaum marginal di film.
Sementara soal bonus, Aufa berpendapat, "Butuh ruang khusus untuk membicarakan hal itu. Mau seperti apa nanti pembagiannya. Tapi bergantung juga sama perusahaan dan pekerjaan yang kita pilih.”
Lebih jauh Aufa menambahkan, segala persoalan kaum marginal di film ini ada konsekuensinya. “Kalau hanya berkutat siapa yang salah dan benar ya enggak akan selesai,” katanya.
Pentingnya Proses dan Belajar
Sekalipun kerap terpinggirkan, menurut Aufa, kaum marginal di ranah film seperti kru tak perlu berkecil hati. Berkaca pada pengalaman pribadinya, kru pun bisa “naik kelas.”
"Saya pernah menjadi runner, pembantu umum dan cableman di tahun 2001. Saya baru jadi chief itu tahun 2007, itu pun tandem sama temen saya, Yusuf. Ya, proses itu penting,” kata Aufa.
Ia menyayangkan jika banyak orang justru melupakan proses dalam bekerja. Apalagi dengan kemudahan teknologi saat ini, banyak orang yang melewati dan melupakan proses itu.
"Jangan instan, itu enggak bagus. Seperti makan mi instan aja, kenyang sementara enggak lama laper lagi," lanjut Aufa yang giat mempelajari banyak hal di luar pekerjaan sebagai kru.
Aufa pernah membantu director of photography dan kru lighting saat syuting di luar negeri bersama tim kecil beranggotakan 10 orang. Barulah kemudian ia menjadi chief sound recordist di film-film Indonesia.
"Seneng bisa saling back up karena kita memang harus paham semua bagian,” Aufa mengungkapkan etos kerja. “Intinya dengan apa pun yang terjadi kita harus maksimal.” [CNN INDONESIA]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar