Malam Puncak FFI Selalu Menyisakan Kritik


TABLOIDBINTANG.COM - BEBERAPA menit usai Malam Puncak Festival Film Indonesia (FFI) 2015 digelar, ternyata acara belumlah tuntas. Ada pengumuman susulan untuk kategori Film Dokumenter Pendek Terbaik, Film Dokumenter Panjang Terbaik, Film Animasi Terbaik, Film Pendek Terbaik, dan Film Televisi Terbaik. Diumumkan ketika para hadirin sibuk mencari jalan keluar gedung sontak membuat para pemenang ini seperti terabaikan.

Begitulah FFI. Penyelenggaraannya selalu menyisakan catatan-catatan kritis. Piala Citra Film Pendek Terbaik dibawa pulang Lucky Kuswandi lewat The Fox Exploits The Tigers Might. Film Animasi Terbaik, GWK (Alam Sutera).

Film Dokumenter Panjang Terbaik direbut Mendadak Caleg (M-Docs). Piala Citra Film Dokumenter Pendek Terbaik diberikan untuk Tino Sidin Sang Guru Gambar polesan Fakultas Film & Televisi Institut Kesenian Jakarta. Film Televisi Terbaik direbut Hati-hati dengan Hati yang tayang di layar SCTV. Kategori ini tak ditayangkan di televisi dengan alasan keterbatasan durasi.

Hal ini mengingatkan kita pada keluhan Indra Herlambang ketika menenangkan Penulis Skenario Adaptasi Terbaik FFI 2009 lewat film Mereka Bilang, Saya Monyet. Indra naik panggung ketika televisi penayang dijejali iklan.

“Durasi acara kelamaan sementara pihak stasiun televisi mesti berkompromi dengan durasi on-air dan lain-lain. Catatan lain, Siti dan A Copy of My Mind yang belum tayang di bioskop. Masyarakat mungkin bertanya-tanya soal dua film itu mengingat belum beredar untuk umum. Sosialisasi dua film itu sangat diperlukan,” pengamat film Yan Widjaya mengulas.

Dibandingkan dengan penyelenggaraan tahun lalu, ketika pemenang semua kategori bisa diumumkan, FFI 2015 terasa berjalan mundur.

Ketua Bidang Media & Publikasi FFI 2015, Lukman Sardi (44), mengakui, penyelenggaraan FFI tahun ini mengalami sejumlah kendala. Salah satunya, persiapan malam puncak sekitar dua bulan saja. Dia mengusulkan kepada pemerintah satu-dua bulan setelah malam puncak dihelat, segera disusun tim kerja untuk merumuskan konsep FFI tahun berikutnya.

“Komite juri FFI tahun ini lebih dari 120 orang. Kita bisa berharap penilaian yang lebih objektif dari populasi juri yang akan terus bertambah. mengingat semua nomine mendapat hak untuk memberi penilaian di FFI berikutnya. Persiapan FFI sebaiknya dimulai sejak awal tahun,” saran Lukman.

Di atas kelemahan ini, ia mengapresiasi FFI tahun ini yang berhasil menggandeng vendor Samsung SUHD TV, mi instan, dan minuman. Artinya, FFI masih punya aura komersial di mata sejumlah produsen.

Persiapan yang mendesak selalu menjadi alasan sakti bagi panitia FFI dari tahun ke tahun. Kami ingat betul, pada 2012 saat penghargaan tertua dan tertinggi bagi insan film se-Nusantara ini dihelat di Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Sri Sultan Hamengkubuwono, di hadapan Menteri Mari Elka Pangestu, melayangkan kritik keras terkait minimnya publikasi FFI di Kota Gudeg. 

Masyarakat Yogyakarta saat itu tidak sadar bahwa ada perhelatan besar di kota mereka. Akibatnya, FFI disambut dingin.

“Saya tidak melihat ada baliho atau spanduk yang dipasang di tempat strategis. Alasannya, waktu persiapannya mepet. Kalau beberapa bulan sebelumnya ada sosialisasi, masyarakat tentu lebih antusias menyambut event ini,” demikian Sultan mengkritik. 

Di hadapan Sultan dan Mari, Reza Rahadian mengusulkan perencanaan workshop, sosialisasi, pengumuman nominasi, pawai artis, dan malam puncak. Tiga tahun berlalu sejak Sang Raja mengkritik. Dua tahun berselang sejak Presiden Joko Widodo membukukan sejarah sebagai Presiden pertama yang menghadiri pesta insan film domestik. Malam puncak FFI selalu saja menjadi bulan-bulanan kritik.

Sebagai media yang konsisten meluangkan halaman untuk mengawal muram-cerahnya film Indonesia, Bintang tidak putus harap bahwa pelaksanaan FFI tahun depan lebih baik. Selamat kepada para pemenang. Piala Citra bukan (tujuan) akhir dari perjalanan karier. Tetap berkarya!(wyn/gur)

Link terkait: Trailer mendadak CALEG.

1 komentar: